Kamis, 12 Februari 2009

BIOKOMPATIBILITAS AMALGAM

Sejarah Amalgam:
Amalgam dalam bidang kedokteran gigi disebut dental amalgam, yaitu suatu paduan antara merkuri (Hg) dan suatu alloy. Menurut Charbeneau dkk. (1981) amalgam pertama kali diperkenalkan oleh Taveau pada tahun 1826 di Paris. Pada waktu pertama kali diperkenalkan, amalgam disebut silver amalgam, karena bagian terbesar komponennya adalah perak. Black adalah orang yang pertama kali memperkenalkan amalgam dengan bentuk partikel lathe cut. Dalam publikasinya pada tahun 1896, komposisi alloy amalgam adalah :
1. Ag (perak) 68,50%
2. Sn (Timah putih) 25,50%
3. Au (emas) 5%
4. Zn (seng) 1%

Formula yang dituliskan Black hanya dipakai sebentar, selanjutnya berdasarkan penelitian oleh Flagg, emas dan platina dianjurkan tidak ditambahkan pada formula amalgam. Pada tahun 1960 mulai diperkenalkan bubuk amalgam bentuk bulatan kecil (spherical), yang kemudian berkembang menjadi partikel yang lebih kecil.
Meskipun amalgam telah dipakai dalam restorasi lesi karies sejak abad ke-15 atau bahkan lebih dini lagi, amalgam masih merupakan suatu bahan yang paling banyak dipergunakan. Kualitas yang paling baik dari amalgam gigi ini adalah tahan lama dan mudah manipulasinya. Cukup bisa beradaptasi dengan cairan mulut, amalgam adalah restorasi yang relatif murah dan dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan dapat dikatakan bahwa amalgam merupakan suatu bahan tambalan yang paling banyak dipergunakan dokter gigi.

Menurut definisi, amalgam adalah campuran dari dua atau beberapa logam, salah satunya adalah merkuri. Seperti nanti bisa dilihat, alloy amalgam terdiri atas tiga atau beberapa logam. Amalgam itu sendiri merupakan kombinasi alloy dengan merkuri melalui suatu proses yang disebut amalgamasi atau triturasi. Campuran yang merupakan bahan plastis dimasukkan ke dalam kavitas dan bahan tersebut menjadi keras karena kristalisasi.

Dalam hal ini dikatakan bahwa restorasi amalgam “sering lebih baik daripada kelihatannya.” Kekurangan yang nyata sering tampak pada restorasi yang sudah berfungsi cukup lama, terutama memburuknya bagian tepi, yang disebut “ditching” pada interfase dengan gigi. Kita mungkin membayangkan bahwa karies selalu terdapat pada bagian tepi yang terbuka disebabkan oleh penetrasi dari cairan ludah, debris, dan mikroorganisme. Sebenarnya hal ini tidak selalu terjadi, walaupun restorasi kehilangan estetiknya dan terjadi degradasi terus-menerus. Penjelasannya terletak pada sifat amalgam yang unik. Sewaktu restorasi makin tua, produk-produk korosi terbentuk sepanjang batas antara restorasi dan gigi. Produk ini akan bertindak sebagai pemblokir mekanik dari penetrasi agen-agen beracun. Mekanisme swa-penyembuhan ini menyebabkan bahan restorasi amalgam tahan lama.

Spesifikasi dari The American Dental Association untuk alloy amalgam gigi telah banyak mengurangi jumlah produk komersial yang buruk. Walaupun beberapa tipe tertentu (misalnya, system amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi, yang akan dibahas kemudian) adalah unggul, presentase kegagalan yang tinggi disebabkan karena desain preparasi yang tidak tepat, kesalahan manipulasi dari amalgam dan amalgam yang terkontaminasi waktu pengisian setiap langkah dalam prosedur, dari waktu alloy diseleksi sampai restorasi dipoles, mempunyai efek terhadap sifat amalgam, yang menentukan keberhasilan atau kegagalan restorasi.

Pengertian Biokompatibilitas
Biokompatibilitas dapat diartikan sebagai kehidupan harmonis antara bahan dan lingkungan yang tidak mempunyai pengaruh toksik atau jejas terhadap fungsi biologi. Biokompatibilitas berhubungan dengan uji biologis yang merupakan interaksi antara sifat fisika atau mekanik melalui degenerasi sel, kematian sel dan beberapa tipe nekrosis. Tujuan biokompatibilitas adalah untuk mengeliminasi komponen bahan yang berpotensi merusakan jaringan rongga mulut.

Sebuah bahan dikatakan biokompatible ketika bahan tersebut tidak merusak lingkungan biologis di sekitarnya. Syarat biokompatibilitas bahan kedokteran gigi adalah:
1. Tidak membahayakan pulpa dan jaringan lunak.
2. Tidak mengandung bahan toksik yang dapat berdifusi, terlepas dan diabsorbsi dalam sistem sirkulasi.
3. Bebas dari agent yang dapat menyebabkan reaksi alergi.
4. Tidak berpotensi sebagai bahan karsinogenik.

Biokompatibilitas Amalgam
Amalgam merupakan bahan yang paling sering digunakan karena bahan ini dapat bertahan lama sebagai bahan tumpatan, mudah memanipulasinya, mudah beradaptasi dengan cairan mulut dan harganya relatif murah. Namun, mengenai masalah efek samping yang ditimbulkan oleh bahan ini masih dipertanyakan karena masih ada anggapan bahwa amalgam berbahaya bagi kesehatan tubuh pasien, hal ini karena di dalam amalgam terkandung merkuri. Merkuri dalam keadaan bebas sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat meracuni tubuh oleh karena itu merkuri di dalam amalgam dianggap berbahaya. Bahaya merkuri ini tidak hanya mengancam kesehatan pasien tetapi juga dokter gigi itu sendiri, uap merkuri yang terhirup pada saat mengaduk amalgam dapat menimbulkan efek toksik kumulatif pada dokter gigi tersebut.

Merkuri yang terkandung dalam amalgam memamg dapat melakukan penetrasi ke dalam struktur gigi. Merkuri yang telah msuk ke dalam dentin dapat menyebabkan terjadinya diskolorisasi pada gigi, tidak hanya itu saja merkuri juga dapat berpenetrasi sampai pada pulpa gigi sehingga malah terjadi inflamasi pada gigi tersebut. Selain itu, tumpatan amalgam juga melepaskan sebagian kecil merkuri pada saat penguyahan makanan sehingga sebagian merkuri masuk dalam tubuh, hal ini juga semakin menambah keraguan atas tingkat biokompatibilitas dari amalgam itu sendiri.

Keraguan atas tingkat biokompatibilitas amalgam terhadap kesehatan tubuh seharusnya tidak perlu terjadi karena sebetulnya mengenai kemungkinan reaksi toksik pada pasien akidat penetrasi merkuri pada gigi serta alergi yang ditimbulkannya belum begitu jelas. Kontak pasien dengan uap merkuri selama pengisian tumpatan amalgam begitu singkat dan jumlah uap merkuri begitu kecil untuk dapat membahayakan tubuh. Bahaya pemakaian amalgam telah banyak dipelajari, perkiraan yang paling bisa diandalkan adalah bahwa merkuri dari tumpatan amalgam tidak cukup signifikan untuk dapat meracuni pasien.

VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS ENTERITIS (MUNTABER)

Muntaber atau Vibrio Parahaemolyticus Enteritis adalah keadaan di mana seseorang menderita muntah-muntah disertai buang air besar berkali-kali. Kejadian itu dapat berulang tiga sampai lebih sepuluh kali dalam sehari. Terjadi perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, melembek sampai mencair, yang kadang juga mengandung darah atau lendir. Lazimnya, penyakit muntaber memang menyerang anak-anak, terutama pada usia dua hingga delapan tahun. Mereka mudah tertular karena daya tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa.

Penyebab utama muntaber adalah peradangan usus oleh bakteri, virus, parasit lain (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia serta kurang gizi, misalnya kelaparan atau kekurangan protein. Penyakit yang dapat disebabkan oleh bakteri Escherichia coli ini dapat mewabah akibat lingkungan sekitar tempat tinggal yang kurang bersih serta makanan yang dikonsumsi terkontaminasi bakteri. Sistem sanitasi yang tidak terjaga dengan baik juga memudahkan kuman untuk berkembang biak. Hujan yang terus menerus sehingga menimbulkan banjir dan lingkungan yang kotor, sangat potensial menimbulkan wabah muntaber.

Selain itu, muntaber juga dapat disebabkan oleh virus Vibrio parahaemolyticus yang termasuk jenis vibrio halofilik dan telah diidentifikasi ada 12 grup antigen “O” dan sekitar 60 tipe antigen “K” yang berbeda. Strain patogen pada umumnya (tetapi tidak selalu) dapat menimbulkan reaksi hemolitik yang khas (fenomena Kanagawa). Masa inkubasi Vibrio parahaemolyticus biasanya antara 12 – 24 jam, tetapi dapat berkisar antara 4 – 30 jam.

Banyak diantara penderita muntaber yang melakukan terapi-terapi dalam mengatasi penyakit yang dialaminya. Baik sendiri maupun dengan ditangani dokter. Beberapa metode dalam penatalaksanaan muntaber pada penderita ialah dengan terapi pencegahan dan terapi pengobatan. Terapi pencegahan dilakukan dengan perbaikan kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya sebelum terjadinya penyakit muntaber tersebut. Sedangkan terapi pengobatan berupa terapi yang diberikan pada penderita muntaber yang sudah terjangkit penyakit muntaber agar penyakit tersebut dapat diatasi dan tidak terjadi sakit yang lebih parah.

Rabu, 11 Februari 2009

PERAWATAN ULANG ENDODONTIK NON BEDAH

Definisi dari perawatan ulang endodontik non bedah adalah perawatan ulang endodontik yang dilakukan setelah perawatan endodontik mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud di antaranya adalah masuknya mikroorganisme lewat kebocoran (leakage) pada restorasi bagian mahkota gigi dan mikroorganisme yang masih ada dalam saluran akar karena kurang bersihnya tindakan debridement saluran akar pada perawatan awal endodontik. Tindakan debridement yang kurang tuntas ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor operator dan faktor anatomi saluran akar. Faktor operator maksudnya adalah kurang cermatnya operator dalam proses preparasi saluran akar, sehingga masih meninggalkan kotoran / mikroorganisme. Tetapi yang lebih sering terjadi adalah karena faktor anatomi saluran akar sendiri yang kurang menguntungkan. Saluran akar yang bengkok, sempit, mengeras akan menyulitkan instrument endodontik untuk dapat melakukan pembersihan saluran akar dengan tuntas.

Komplikasi Perawatan Ulang Endodontik
1. Saluran akar yang salah
Pada beberapa kasus saluran akar sulit untuk ditentukan oleh karena restorasi yang masih terpasang. Perawatan saluran akar sebelumnya yang preparasi, pembersihan, dan obturasi yang tidak bagus juga dapat menyebabkan sulitnya mendeteksi saluran akar. Penggunaan foto radiografis dapat membantu mengatasi masalah ini.
2. Saluran akar yang buntu
Saluran akar yang buntu akan mempersulit dalam perawatan ulang endodontik
3. Terjadinya ledge
Dapat terjadi bila preparasi pada perawatan endodontik sebelumnya tidak bagus dan menyebabkan pembersihan saluran akar pada perawatan ulang endodontik membuat ledge yang lebih parah.
4. Terjadinya perforasi
Pada saat pembersihan dan pembentukan saluran akar dapat terjadi perforasi. Hal ini dapat disebabkan bila dinding saluran akar yang sudah rapuh atau tipis.
5. Instrumen patah
Dalam pelaksanaan perawatan ulang endodontik dapat terjadi patahnya instrumen, terutama pada saat pengeluaran bahan pengisi saluran akar.

Sumber :
Nonsurgical Endodontic Retreatment. Clifford J. Ruddle, DDS. CDA Journal Vol.32, No. 6, June 2004. pp.474-484.

Kemungkinan prognosa dari perawatan ulang endodontik
1. Kista
Pada kasus dimana terdapat kista, kemungkinan kambuh sangat besar walaupun telah dilakukan perawatan ulang konvensional yang sangat baik. Dalam hal ini diperlukan perawatan endodontik bedah.
2. Bahan asing di ekstra-radikuler
Reaksi tubuh terhadap benda asing misalnya gutta-percha yang keluar dan masuk pada jaringan periapikal. Hal ini mempersulit untuk terjadinya perawatan ulang yang sempurna karena diperlukan teknik untuk membersihkan benda asing yang sudah terlanjur masuk pada jaringan periapikal.
3. Fraktur akar vertikal
Pada kasus dimana terdapat fraktur akar vertikal yang tidak terdiagnosa, maka dapat menyebabkan buruknya prognosa dari perawatan ulang endodontik.
4. Perforasi akar
Pada kasus perforasi akar maka perawatan ulang endodontik non-bedah kurang baik karena adanya faktor kesulitan dalam menentukan lokasi perforasi.

Sumber:
Why is Retreatment Less Successful than Conventional Root Canal Treatment?
Padhraig Fleming.TSMJ Volume 3: Review Articles. Pp.31-35.

KISTA RADIKULER

Kista radikuler juga dikenal dengan nama kista periapikal atau kista apical periodontal yang merupakan kista yang paling sering ditemukan. Terbentuk dari iritasi kronis gigi yang sudah tidak vital. Kista tumbuh dari epitel rest of Malassez yang mengalami proliferasi oleh karena respon terhadap proses radang yang terpicu oleh karena infeksi bakteri pada pulpa yang nekrosis.

Secara histopatologis kista ini ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak mengalami keratiisasi skuamosa dan mempunyai ketebalan yang bervariasi. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan ditemukannya banyak sel neutrofil pada dinding kista tersebut. Pada dinding kista sering didapatkan kerusakan karena proses radang.

Dinding rongga kista radikuler atau periapikal merupakan lapisan epitel jenis Non-keretinizing stratified squamous dengan ketebalan yang bervariasi. Dinding epithelium tersebut dapat sangat proliferatif dan memperlihatkan susunan plexiform. Sel-sel mucus juga ditemukan dilokasi ini, meskipun jarang. Sebagai jenis kista yang terjadi karena proses radang, maka dinding epithelium dapat mengandung banyak sel radang, yaitu sel plasma dan limphosit. Rousel body atau Round eusinofilic globulae banyak ditemukan di dalam atau luar sel plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis immunoglobulin. Keberadan immunoglobulin ini dapat diyakinkan dengan pemeriksaan pewarnaan menggunakan imunofluoresens.

Kista radikuler memiliki gambaran radiologist berupa lesi bulat berbatas jelas di regio apical gigi. Gambaran radiolusen melekat pada bagian apical gigi.

Pemeriksaan kista radikuler dapat dilakukan dengan cara biopsy yang meliputi:
1. Aspirasi jarum halus (FNAB) à jarum diameter < 1mm, ujung jarum ditusukkan ± 5x, kemudian dibuat hapusan (smear) à one layer smear
2. Eksisi à digunakan untuk pengambilan lesi kecil yang secara klinis merupakan lesi yang jinak (Æ < 1cm), baik lesi superfisial maupun lesi profundus, lunak atau keras. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan insisi berbentuk elips (untuk lesi permukaan (atau modifikasinya, apabila lesi terletak di dalam jaringan lunak.
3. Insisi à pemeriksaan ini bila lesi ini berukuran besar atau potensial ganas (nantinya memerlukan eksisi yang luas) atau untuk menghindari strukstur penting di sekitarnya, misalnya arteri atau saraf. Biopsy insisional biasanya dipilih untuk lesi yang besar dan terletak di dalam tulang, baik lesi kistik maupun solid, untuk menentukan sifatnya, sehingga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan rehabilitatif.
4. Aspirasi à suatu pendekatan untuk fluktuan di dalam lesi jaringan lunak baik superficial atau profunda. Lesi sentral pada tulang diaspirasi dahulu sebelum diambil, karena dikhawatirkan akan terjadi perdarahan yang disebabkan oleh adanya hemangioma sentral atau anomaly vaskuler. Aspirasi kurang bermanfaat untuk diagnosi lesi yang solid.

Perawatan kista radikuler adalah dengan cara enukleasi melalui alveolus pada saat ekstraksi. Bila ukurannya bertambah besar (2-3cm) dan melibatkan gigi & struktur di sekitarnya, maka penatalaksanaannya menjadi kompleks à memerlukan tindakan kontrol infeksi, marsupialisasi dengan biopsi dan penyembuhannya lama.

PENYEMBUHAN LUKA

Definisi luka adalah terputusnya struktur anatomis dan fungsi dari bagian manapun dari tubuh. Penyembuhan merupakan proses restorasi struktur dan fungsi anatomis. Sebagai gambaran penyembuhan normal, luka pada kulit akan tertutup secara spontan dalam beberapa hari dalam upaya tubuh melindungi struktur dibawahnya.

Penyembuhan dalam tahap akut, merupakan proses restorasi dalam upaya mempertahankan periode dan struktur anatomi dan fungsinya. Sebagai contoh pada luka baru yang menutup dalam beberapa hari. Sedangkan luka yang tidak dapat menutup dalam beberapa hari dikategorikan sebagai luka kronis dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan. Luka pada jari yang selalu digerakkan akan memberikan gambaran luka kronis ini (Carson, 2005).

Penutupan luka primer, sekunder dan tersier.
Menurut ciri-ciri dan waktu penyembuhan luka, terbagi menjadi penyembuhan primer adalah penyembuhan yang terjadi pada luka tanpa ada organisme patogen, reaksi peradangan minimal dan ringan, luka bersih, trauma minimal dan jaringan pada posisi asal. Sedangkan penyembuhan luka sekunder adalah penyembuhan luka yang terjadi pada luka dengan trauma yang luas dan parah, adanya bakteri patogen, luka dengan jaringan, sehingga penyembuhan lambat. (Clark,1959)

Penutupan primer terjadi bila kehilangan jaringan minimal pada susunan anatomi disekitar tepi luka sehingga segera memberikan jalan untuk penyembuhan luka tanpa menimbulkan bekas luka. Pada metode ini terjadi sedikit reepitelisasi, minimal kolagen, kontraksi dan remodeling, penyembuhan terjadi dengan cepat, resiko infeksinya rendah dan tidak terjadi bekas luka. Contohnya antara lain adalah laserasi atau insisi dengan penyembuhan yang baik, redaksi fraktur tulang yang baik, reanastomosis saraf secara anatomi.


Penutupan sekunder terjadi bila luka yang terjadi meninggalkan celah cukup luas diantara tepi luka bekas insisi atau laserasi, pada tulang atau ujung saraf sesudah perbaikan jaringan. Terjadi kehilangan jaringan disekitar luka sehingga dapat menghambat penutupan tepi luka. Pada keadaan ini terdapat sejumlah besar epitel dan kolagen serta terjadi remodeling selama perbaikan jaringan. Penyembuhan berjalan lambat dan terdapat bekas luka bila dibandingkan dengan keadaan pada penyembuhan luka primer.

Penutupan tersier adalah penyembuhan yang terjadi pada luka dengan penutupan primer yang tertunda (delayed primary closure) dilakukan pada luka yang terkontaminasi. Luka dibiarkan terbuka selama 3 – 5 hari untuk penanganan kontaminasi dan infeksi. Bila tepi luka telah sehat dilakukan penutupan dengan penjahitan maupun dengan graft. (Carson, 2005).



Sumber:
Muharram, Aries. 2007. Penyembuhan Luka. Universitas Airlangga, Surabaya

PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA HIPERTENSI

Penderita Hipertensi yang masuk dalam stage I dan stage II masih memungkinkan untuk dilakukan tindakan pencabutan gigi karena resiko perdarahan yang terjadi pasca pencabutan relatif masih dapat terkontrol (Little, 1997). Pada penderita hipertensi dengan stage II sebaiknya di rujuk terlebih dahulu ke bagian penyakit dalam agar pasien dapat dipersiapkan sebelum tindakan.

Pengobatan pada pasien hipertensi biasanya digunakan lebih dari satu macam golongan obat, misalnya: golongan obat anti hipertensi (mis: captopril) dan golongan obat diuretik.
Resiko-resiko yang dapat terjadi pada pencabutan gigi penderita hipertensi, antara lain :

1. Resiko akibat Anestesi lokal pada penderita hipertensi
Larutan anestesi lokal yang sering dipakai untuk pencabutan gigi adalah lidokain yang dicampur dengan adrenalin dengan dosis 1:80.000 dalam setiap cc larutan. Konsentrasi adrenalin tersebut dapat dikatakan relatif rendah, bila dibandingkan dengan jumlah adrenalin endogen yang dihasilkan oleh tubuh saat terjadi stres atau timbul rasa nyeri akibat tindakan invasif. Tetapi bila terjadi injeksi intravaskular maka akan menimbulkan efek yang berbahaya karena dosis adrenalin tersebut menjadi relatif tinggi. Masuknya adrenalin ke dalam pembuluh darah bisa menimbulkan: takikardi, stroke volume meningkat, sehingga tekanan darah menjadi tinggi. Resiko yang lain adalah terjadinya ischemia otot jantung yang menyebabkan angina pectoris, bila berat bisa berakibat fatal yaitu infark myocardium. Adrenalin masih dapat digunakan pada penderita dengan hipertensi asal kandungannya tidak lebih atau sama dengan 1:200.000. Dapat juga digunakan obat anestesi lokal yang lain, yaitu Mepivacaine 3% karena dengan konsentrasi tersebut mepivacaine mempunyai efek vasokonstriksi ringan, sehingga tidak perlu diberikan campuran vasokonstriktor.

2. Resiko akibat ekstraksi gigi pada penderita hipertensi
Komplikasi akibat pencabutan gigi adalah terjadinya perdarahan yang sulit dihentikan. Perdarahan bisa terjadi dalam bentuk perdarahan hebat yang sulit berhenti saat dilakukannya tindakan pencabutan gigi, atau bisa berupa oozing (rembesan darah) yang membandel setelah tindakan pencabutan gigi selesai.

Sumber:
Little, JW. 1997. Dental Management of the Medically Compromised Patient. 5th edition. Mosby. St.Louis

PERBEDAAN AKTIVITAS OTOT-OTOT PENGUNYAHAN PADA ORANG NORMAL DIBANDINGKAN ORANG DENGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR

Mekanisme otot-otot pengunyahan pada orang normal dengan orang yang mengalami kelainan pada sendi temporomandibularnya sangat berbeda. Hal ini telah dibuktikan oleh Japan Society for the Promotion of Science yang melakukan penelitian pada sebelas orang dewasa dengan gangguan internal pada sendi temporomandibular yang digunakan sebagai kelompok pasien, dan sebelas orang dewasa dengan oklusi normal tanpa kelainan sendi temporomandibular yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Dalam penelitian tersebut, tiap orang coba diminta untuk mengunyah permen karet yang keras. Tercatat bahwa pergerakan insisif sentral rahang bawah pada frekuensi 89,4 Hz, sedang aktifitas otot temporalis bagian anterior, otot masseter, otot digastrikus dan otot pterygoideus lateralis inferior menunjuk pada frekuensi 2,56kHz, menggunakan metode enam derajat kebebasan gerakan rahang bawah. Setiap orang coba melakukan gerakan membuka dan menutup mulut maksimum lima kali, dengan tujuan untuk melihat aktifitas normal otot. Selain itu, daya kunyah pada daerah oklusal gigi dan derajat kontak oklusi juga diukur. Selama proses pengunyahan pada kelompok pasien, otot yang bekerja dengan normal adalah sisi non-working otot temporalis, sedangkan sisi kerja otot masseter dan sisi kerja otot pterygoideus lateral menunjukkan nilai yang sangat rendah dibanding kelompok kontrol (P<0.05). Pada kelompok pasien tidak ada perbedaan yang mencolok pada perhitungan kontak area diantara mereka. Tetapi perhitungan kekuatan daya kunyah maksimum pada kelompok pasienmenunjukkan nilai yang juga sangat rendah dibanding kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktifitas normal dari sisi kerja otot masseter, sisi non-working otot temporalis dan otot pterygoideus lateral pada pasien dengan gangguan pada sendi temporomandibular lebih rendah dibandingkan pasien normal selama pengunyahan.

EFEK RADIASI

Efek – efek iradiasi seluruh tubuh
Ketika seluruh tubuh menuru atau membatasi dosis radiasi, ada perubahan karakteristik (disebut acute radiation syndrom) yang berkembang gambaran klinis tubuh yang terlihat cukup berbeda dari yang tergambar ketika suatu volume kecil sel tubuh hewan yang terlihat

Sindrom radiasi akut
Sindrom radiasi akut merupakan kumpulan dari tanda dan gejala yang dialami seseorang setelah beberapa saat seluruh tubuh terpapar oleh radiasi. Informasi mengenai sindrom ini berasal dari percobaan pada hewan dan paparan manusia oleh radioterapi kesehatan, ledakan bom atom, dan kecelakaan radiasi. Secara pribadi gejala klinik paparan radiasi tidak unik tetapi dapat diambil sebagai kesimpulan, karena terdapat sejumlah pola yang nyata (tabei 2-1). Pembahasan berikut menyinggung paparan seluruh tubuh pada suatu nilai dosis tinggi yang relatif.

Tahap prodormal. Terjadi pada beberapa menit sampai jam pertama setelah paparan radiasi pada penyinaran seluruh tubuh sekitar 1,5 Gy, karakteristik gejala dari sistem pencernaan dapat terjadi kerusakan. Setiap individu dapat timbul anorexia, mual, muntah, diare, rasa lemah, letih, dan lelah. Sejumlah gejala awal disimpulkan pada tahap prodormal dari sindrom radiasi akut. Penyebab tadi tidak dapat dihilangkan tetapi meliputi sistem saraf otonom. Kehebatan dan waktu onset mungkin dari tingkat prognosis yang signifikan karena terkait dengan dosis: semakin tinggi dosis, semakin cepat onset dan besar hebatnya gejala.

Tahap laten. Setelah prodormal ini beraksi terjadi tahap laten yang dapat dilihat dengan jelas dimana selama tahap ini tidak ada tanda dan gejala terjadinya penyakit radiasi. Tingkat dari tahap laten ini juga terkait dengan dosis. Tingkatan tersebut berawal dari berjam-jam atau hari-hari pada paparan supralhetal (lebih dari kira -kira 5 Gy) hinggga beberapa minggu saat paparan sublhetal (kurang dari 2 Gy). Gejala-gejala yang mengikuti tahap laten dimana individu-individu tersebut diradiasi dalam jangkauan lethal (kira-kira 2-5 Gy) atau jangkauan supralethal.

Sindrom hematopoietik
Penyinaran seluruh tubuh antara 2 sampai 7 Gy menyebabkan kerusakan pada hematopoietik stem sel pada sumsum tulang dan limpa. Aktivitas mitosis yang tinggi pada sel-sel tersebut dan adanya sel yang berdiferensiasi menyebabkan sumsum tulang menjadi jaringan yang sangat peka terhadap radioaktif (radiosensitive). Sebagai akibatnya dosis pada kisaran ini menyebabkan penurunan yang sangat drastis pada besarnya sirkulasi granulocyt, platelet, erytrosit. Mengingat bahwa sirkulasi pematangan granulocyt, platelet dan erytrosit itu sendiri sangat peka terhadap radioaktif, maka mereka tidak dapat berreplikasi. Kekurangan mereka pada darah tepi setelah penyinaran menyebabkan sel induk menjadi relatif radiosensitif. Perubahan jumlah darah yang berbeda-beda tidak dapat muncul pada saat yang bersamaan. Besarnya penurunan tingkat sirkulasi suatu sel tergantung pada umur sel tersebut didaerah tepi. Granulocyt dengan umur pendek pada sirkulasi, jumlahnya menurun drastis hanya dalam beberapa hari, sedangkan sel darah merah dengan umur yang panjang dalam sirkulasi, jumlahnya menurun dengan perlahan-lahan.

Konsekuensi klinik dari penekanan elemen-elemen sel ini menjadi jelas sebagai penurunan tingkat sirkulasi. Oleh karena itu, kemudian diikuti dengan anemia. Tanda klinis dari sindrom hematopoietik antara lain infeksi (bagian dari lymphopenia dan granulocytopenia), hemorrhage (dari trombosit) dan anemia (dari kekurangan erytrosit). Individu mungkin dapat bertahan terhadap penyinaran pada kisaran tersebut apabila sumsum tulang dan limpa mengalami regenerasi sebelum pasien mengalami kematian karena satu atau lebih komplikasi klinis. Kemungkinan tingkat kematian yang rendah sesuai penyinaran pada akhir kisaran yang rendah, tetapi sangat tinggi pada akhir kisaran yang tinggi. Kematian karena sindrom hematopoietik, biasanya terjadi 10 sampai 30 hari setelah penyinaran.

Karena penyakit radang kronik pada mulut bersumber pada masuknya mikroorganisme ke peredaran darah, peranan dokter gigi penting dalam pencegahan kematian karena sindrom hematopoietik. Selanjutnya kerusakan sedang, terjadi 7 sampai 10 hari sebelum perkembangan klinis yang berarti dari leukopenia. Selama masa ini, dokter gigi seharusnya menghilangkan semua infeksi di mulut. Penghilangan sumber infeksi, pemberian antibiotika yang tepat dan transplantasi sumsum tulang dalam beberapa kasus dapat melindungi individu dari sindrom radiasi akut.

Sindrom Gastrointestinal
Seluruh tubuh meliputi rata-rata 7 sampai 15 Gy yang dapat menyebabkan kerusakan luas pada sistem GIT. Kerusakan ini, ditambah dengan kerusakan hematopoietik seperti yang diterangkan di atas, menyebabkan tanda-tanda dan gejala-gejala yang disebut sindrom gastrointestinal. Individu yang berada pada keadaan ini kemungkinan dapat mengalami tahap prodromal beberapa jam setelah terpapar. Biasanya tahap kedua terjadi setelah lima hari infeksi dimana tidak terlihat gejala-gejala lagi (periode laten) dan penderita marasa baik. Pemaparan tersebut, meskipun demikian, menyebabkan luka yang dianggap yang mengarah pada pertumbuhan sel epitel basal yang cepat dari villi intestine dan menyebabkan hilangnya mukosa saluran pencernaan. Waktu proliferasi dari sel-sel epitel saluran pencernaan normalnya 3 sampai 5 hari. Karena adanya permukaan mukosa yang hilang, maka plasma dan elektrolit-elektrolit akan hilang juga; penyerapan saluran pencernaan yang efisien tidak bisa berlangsung. Dapat juga disertai ulserasi dengan pendarahan dari intestine/saluran pencernaan. Semua perubahan ini bertanggung jawab atas terjadinya diare, dehidrasi, dan berkurangnya berat badan yang nyata. Bakteri endogen saluran pencernaan secara nyata menginfeksi permukaan yang hilang, menyebabkan septicemia.

Level radiasi yang berperan dalam menyebabkan sindrom gastrointestinal (lebih dari 7 Gy) lebih besar efeknya daripada menyebabkan sterilisasi pembentukan jaringan darah, tetapi, kematian (akibat destruksi yang lebih cepat dari regenerasi sel-sel baru di saluran pencernaan) muncul sebelum efek keseluruhan dari radiasi pada system hematopoietik dapat terjadi. Saat perkembangan kerusakan system gastrointestinal mencapai maksimum, efek depresi pada sumsum tulang baru saja mulai termanifestasi. Setelah 24 jam, jumlah limfosit yang beredar turun mencapai jumlah yang sangat sedikit dan keadaan ini diikuti dengan penurunan jumlah granulosit dan kemudian platelets (Gbr.2-12). Sebagai akibatnya adalah menurunnya kemampuan tubuh untuk menandai dan mempertahankan diri melawan infeksi bakteri dan menurunnya efektifitas mekanisme pembekuan darah. Efek yang terkombinasi pada system sel induk ini menyebabkan kematian dalam waktu 2 minggu – dari kombinasi factor-faktor yang meliputi hilangnya cairan dan elektrolit-elektrolit, infeksi, dan asupan nutrisi yang kurang. Beberapa tentara yang berperang di Chernobyl, di Republik Sosialis Soviet, Ukraina, tewas karena sindrom gastrointestinal.

Sindrom Kardiovaskular dan Sistem Saraf Pusat
Paparan yang terjadi pada 50 Gy biasanya menyebabkan kematian dalam 1 hingga 2 hari. Beberapa orang yang telah terpapar pada level ini menunjukkan kegagalan pada system peredaran darah dengan penurunan drastis pada tekanan darah beberapa jam sebelum kematian. Otopsi menunjukkan adanya nekrosis otot-otot jantung. Korban juga terkadang menunjukkan intermittent stupor, inkoordinasi, disorientasi, dan sugestif konvulsi dari kerusakan yang luas pada system saraf pusat. Meskipun mekanisme yang tepat tidak seutuhnya diketahui, gejala-gejala yang terakhir hampir seperti hasil dari radiasi yang menyebabkan kerusakan pada neuron dan pembuluh darah otak. Sindrom ini bersifat irreversible dan kondisi klinis hanya dapat bertahan beberapa menit pada 48 jam sebelum menimbulkan kematian. Sindrom kardiovaskular dan system saraf pusat memiliki penyebaran yang cepat dimana individu yang teradiasi meninggal sebelum efek dari kerusakan pada sumsum tulang dan system saluran pencernaan dapat berkembang.

Masalah-masalah klinis awal yang berpengaruh pada sejumlah bentuk yang berbeda dari sindrom radiasi akut. Antibiotik merupakan indikasi saat perawatan infeksi atau jumlah granulosit menurun. Penggantian cairan dan elektrolit yang dibutuhkan tubuh sangat diperlukan. Tranfusi whole blood diperlukan untuk perawatan anemia, dan keping-keping darah dapat didepositkan untuk menahan trombositopenia. Cangkok sumsum tulang diindikasikan untuk orang kembar identik, karena disana tidak akan terjadi penolakan oleh tubuh penderita pencangkokan. Pasien juga menerima pencangkokan ketika terpapar 8-10 Gy untuk perawatan leukemia.


Efek radiasi pada embrio dan fetus
Embrio dan fetus memiliki radiosensitivitas yang lebih tinggi daripada orang dewasa karena kebanyakan sel-sel embrionik umumnya mengalami undiferensiasi dan mitosis yang cepat, dengan perjalanan mitosis yang panjang. Berbeda dengan sel orang dewasa, yang umumnya menunjukkan populasi yang besar pada fase radiosensitive (G2 dan M) per bagian volume jaringan. Radiasi pada prenatal dapat menyebabkan kematian organisme atau kelainan yang spesifik pada pertumbuhan bergantung pada fase pertumbuhan mana ketika dilakukan penyinaran. Deskripsi mengenai kelainan yang dihasilkan dari penyinaran pada masa embrio atau fetus menyinggung paparan yang lebih tinggi dari yang mereka terima selama proses radiografi gigi. Fetus dari pasien yang terpapar radiografi gigi menerima kira-kira 0,01 mGy.

Efek dari paparan selama periode preimplantasi (10 hari pertama setelah pembuahan pada manusia) telah dipelajari, kebanyakan pada hewan. Penyinaran tikus dengan 2 Gy segera setelah pembuahan kebanyakan menyebabkan kematian pada embrio tetapi juga bisa tidak menimbulkan efek. Selanjutnya keturunan yang dapat bertahan hidup tidak memperlihatkan adanya kelainan setelah kelahiran. Selama periode implantasi (10 sampai 14 hari setelah pembuahan pada manusia) embrio lebih tidak rentan pada kematian meskipun beberapa malformasi dapat terjadi.

Efek dari radiasi pada embrio dan fetus manusia telah dipelajari pada wanita yang terpapar ketika diagnostik atau terapi radiasi selama kehamilan dan wanita yang terpapar oleh radiasi dari bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki atau Hiroshima. Embrio tersebut menerima paparan 0,5 sampai 3 Gy. Paparan selama beberapa hari pertama setelah pembuahan menyebabkan kematian yang tidak terdeteksi pada konseptus. Periode paling sensitif untuk induksi kelainan pertumbuhan adalah selama periode organogenesis, antara 18 sampai 45 hari kehamilan. Kelainan yang paling umum diantara anak-anak Jepang yang yang terpapar pada awal kehamilan adalah kekerdilan dan lingkar kepala yang mengecil (microchepaly), kebanyakan diikuti oleh kemunduran mental. Kelainan lainnya meliputi berat badan lahir yang rendah, katarak, malformasi genital dan tulang rangka, dan mikropthalmia. Periode maksimum sensitivitas otak adalah 8 sampai 15 minggu setelah pembuahan. Frekuensi dari beberapa kemunduran mental oleh karena paparan 1 Gy selama periode ini sekitar 43%.

Penyinaran selama periode fetal (lebih dari 50 hari setelah pembuahan) tidak menyebabkan malformasi yang terlalu mencolok. Bagaimanapun, gangguan pertumbuhan tetap berlangsung selama hidupnya. Terdapat juga fakta yang menunjukkan adanya peningkatan resiko kanker pada anak-anak, leukemia dan tumor, oleh karena penyinaran pada rahim.

PENGARUH KELAINAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR PADA PENGUNYAHAN

Kelainan sendi temporomandibular atau TMJ sindrom, merupakan suatu keadaan keradangan akut atau kronis dari sendi temporomandibular, yang berhubungan dengan rahang bawah. Kelainan yang terjadi pada TMJ dapat menyebabkan sakit yang signifikan dan kerusakan.

Tanda dan gejala dari kelainan sendi temporomandibular sangat beragam dan dapat disebabkan oleh hal-hal yang kompleks. Karena perbedaan struktur anatomi yang terlibat, sangat mudah mengelompokan gejala TMJ sindrom berdasarkan tiga kategori. Struktur anatomi yang sering terlibat dalam TMJ sindrom adalah otot, sendi temporomandibular, dan gigi.
Kelainan pada otot terhadap sendi temporomandibular adalah yang paling sering dikeluhkan oleh pasien dengan TMJ sindrom. Dua tanda utama dari otot yang mengalami kelainan adalah sakit dan disfungsi kerja. Pada TMJ sindrom , sakit pada otot digambarkan sebagai ”deep pain” dan tidak seperti kelelahan. Bahkan, diyakini pula bahwa rasa sakit ini berasal dari sistem saraf pusat.

Kelainan pada sendi temporomandibular biasanya merupakan tanda yang paling sering diperhatikan pada pasien TMJ sindrom, karena kebanyakan tanda-tandanya telah dapat dideteksi secara dini oleh tenaga klinis. Dua tanda utama dari sendi yang mengalami kelainan adalah sakit dan disfungsi kerja, sama halnya dengan otot. Pada keadaan sendi yang sehat, kontak permukaannya tidak memiliki reseptor penghantar rasa sakit. Rasa sakit yang terjadi harus berasal dari salah satu jaringan lunak di sekitar sendi, yang meliputi discal ligamen, kapsular ligamen, dan jaringan retrodiscal. Saat reseptor dari salah satu jaringan lunak sendi ini di lepaskan, rasa sakit menyebabkan refleks untuk membatasi pergerakan mandibula. Lebih jauh lagi, keradangan pada sendi dapat menyebabkan sakit yang konstan, bahkan pada saat mandibula pada posisi menutup.

Kelainan pada gigi juga dapat berpengaruh pada pasien TMJ disorder. Pergerakan gigi yang terjadi dapat disebabkan oleh rusaknya tulang penyangga dan tekanan yang kuat pada gigi. Bergeraknya gigi dapat mempengaruhi kontak oklusi saat menutupnya mulut, dan keseluruhan hubungan antara gigi, otot, dan sendi dapat berubah. Sehingga hal ini menyebabkan terganggunya fungsi stomatognati dari rongga mulut.

Selain karena ketiga faktor tersebut di atas, kelainan pada sendi temporomandibularjuga dapat terjadi akibat proses menua. Pada keadaan artritis, sering ditemukan nodul-nodul kalsifikasi di permukaan artikular sendi. Selain itu, ukuran kondil mandibula menjadi kecil dan permukaan artikular menjadi rata. Perubahan seluler sendi pada proses menua, disertai stres dan trauma akan menyebabkan degenerasi seluler yang memperberat pengaruh menua. Hal ini menyebabkan remodeling tulang pada daerah subkondral, yang dideteksi secara radiografi dengan adanya peningkatan kepadatan tulang (sklerosis), sebagai awal dari osteoartritis. Tulang yang kaku ini tidak lagi efektif menahan beban sehingga terjadi peningkatan tekanan pada kartilago sendi. Hal ini dapt menyebabkan efektifitas sendi temporomandibular pada proses pengunyahan terganggu.

PERAN BAKTERI RONGGA MULUT PADA INFEKSI ORGAN LAIN KARENA FAKTOR BAKTERIMIA

Rongga mulut manusia pada saat masih di uterus sebenarnya steril. Kontaminasi pertama rongga mulut dengan bakteri, protozoa, virus, dan jamur adalah saat lahir. Segera setelah kelahiran kondisi rongga mulut mulai dapat mendukung kehidupan sekelompok bakteri atau mikroorganisme alam 4-12 jam setelah lahir, Streptococcus viridans menetap sebagai anggota flora yang paling utama dan tetap seperti ini selama hidup. Pada awal kehidupan, jenis flora bertambah dengan Staphylococcus aerob dan Anaerob, diplococcus Gram-negatif (Neiserria, Branhamella), difteroid, dan kadang-kadang laktobasil. Pada akhir tahun pertama hidup sedikitnya, Streptococcus, Staphylococcus, dan Veillonellae adalah bakteri permanen, bersama-sama dengan bakteri jenis lain yang pola penyebarannya tidak mengikuti bakteri sebelumnya. Bila gigi geligi mulai keluar, Spirochaeta anaerob, Bacteroides (khususnya B.melaninogenicus), spesies Fusobacterium, spesies Rothia dan Capnocytophaga, beberapa vibrio anaerob serta laktobasil akan menetap.
Bakteri-bakteri dalam rongga mulut akan selalu meningkat seiring meningkatnya usia seseorang. Pada saat seseorang dewasa, bakteri yang terdapat di saliva meningkat mendekati rata-rata 6 milyar microorganisms/ml, yang dapat ditempati kurang lebih 30 jenis mikroorganisme. Tempat-tempat utama yang sering dijadikan tumbuh kembang bakteri rongga mulut adalah bagian dorsum lidah, sulkus gingiva, dan plak gigi. Khusus untuk spesies Actinomyces dalam keadaan normal terdapat dalam jaringan tonsil dan gingiva orang dewasa; berbagai protozoa mungkin juga terdapat di daerah tersebut.
Infeksi pada mulut dan saluran pernapasan seringkali melibatkan bakteri anaerob. Infeksi periodontal, abses perioral, sinusitis, dan mastoiditis terutama disebabkan oleh Prevotella melaninogenica, Fusobacterium dan peptostreptococcus. Aspirasi air liur (berisi 102 organisme ini dan bentuk anaerob) dapat menimbulkan pneumonia nekrosis, abses paru, dan empiema.
Sekali masuk ke dalam tubuh, bakteri harus menempel pada sel inang, biasanya sel epitel. Setelah bakteri menetap pada tempat infeksi pertama, bakteri berkembang biak dan menyebar langsung melalui jaringan atau lewat sistem getah bening menuju aliran darah. Infeksi ini (bakteremia) dapat bersifat sementara atau menetap. Bakteremia memungkinkan bakteri untuk menyebar luas dalam tubuh dan mencapai jaringan yang cocok bagi perkembangbiakannya.
Pneumonia pneumokokus adalah contoh proses infeksi S.pneumoniae dapat dibiak dari nasofaring pada 5-40% orang sehat. Kadang-kadang, pneumokokus dari nasofaring teraspirasi ke dalam paru-paru; aspirasi paling sering terjadi pada orang yang lemah dan dalam keadaan tertentu, misalnya koma, yaitu saat refleks batuk berkurang. Infeksi berkembang dalam ruang udara terminal paru-paru pada orang yang tidak memiliki antibodi pelindung terhadap polisakarida kapsuler jenis pneumokokus. Perkembangbiakan pneumokokus dan peradangan yang ditimbulkannya mengakibatkan pneumonia. Lalu pneumokokus memasuki saluran getah bening paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Antara 10 dan 20 persen orang yang menderita pneumonia pneumokokus telah mengalami bakteremia saat diagnosis pneumonia dibuat. Begitu bakteremia terjadi, pneumokokus dapat menyebar ke tempat infeksi sekunder, (misalnya cairan serebrospinal, katub jantung, ruang sendi). Komplikasi utama pneumonia pneumokokus antara lain adalah meningitis, endokarditis, atau artritis septik.
Berbagai macam penyakit infeksi, dapat disebabkan oleh invasi bakteri rongga mulut ke sel atau jaringan organ lain. Penyakit yang dapat disebabkan oleh bakteri rongga mulut melalui jalur bakteremia dapat berupa penyakit lokal maupun sistemik, antara lain Gonorrea, pneumonia, endokarditis, pertusis, maupun infeksi saluran pernafasan atas. Penjalaran bakteri melalui mekanisme bakteremia adalah melalui aliran darah atau pun getah bening.
Infeksi yang disebabkan bakteri rongga mulut pada organ lain dari tubuh dapat di jelaskan melalui teori vocal infeksi yang menyebutkan infeksi yang terjadi pada organ lain di tubuh dapat disebabkan oleh inisiasi dan progresi bakteri di rongga mulut. Faktor virulensi bakteri juga merupakan faktor yang memainkan peranan penting untuk terjadinya suatu infeksi. Faktor virulensi ini berupa faktor perlekatan bakteri dan invasi bakteri ke sel inang dan jaringan.