Kamis, 12 Februari 2009

BIOKOMPATIBILITAS AMALGAM

Sejarah Amalgam:
Amalgam dalam bidang kedokteran gigi disebut dental amalgam, yaitu suatu paduan antara merkuri (Hg) dan suatu alloy. Menurut Charbeneau dkk. (1981) amalgam pertama kali diperkenalkan oleh Taveau pada tahun 1826 di Paris. Pada waktu pertama kali diperkenalkan, amalgam disebut silver amalgam, karena bagian terbesar komponennya adalah perak. Black adalah orang yang pertama kali memperkenalkan amalgam dengan bentuk partikel lathe cut. Dalam publikasinya pada tahun 1896, komposisi alloy amalgam adalah :
1. Ag (perak) 68,50%
2. Sn (Timah putih) 25,50%
3. Au (emas) 5%
4. Zn (seng) 1%

Formula yang dituliskan Black hanya dipakai sebentar, selanjutnya berdasarkan penelitian oleh Flagg, emas dan platina dianjurkan tidak ditambahkan pada formula amalgam. Pada tahun 1960 mulai diperkenalkan bubuk amalgam bentuk bulatan kecil (spherical), yang kemudian berkembang menjadi partikel yang lebih kecil.
Meskipun amalgam telah dipakai dalam restorasi lesi karies sejak abad ke-15 atau bahkan lebih dini lagi, amalgam masih merupakan suatu bahan yang paling banyak dipergunakan. Kualitas yang paling baik dari amalgam gigi ini adalah tahan lama dan mudah manipulasinya. Cukup bisa beradaptasi dengan cairan mulut, amalgam adalah restorasi yang relatif murah dan dapat diselesaikan dalam satu kali kunjungan dapat dikatakan bahwa amalgam merupakan suatu bahan tambalan yang paling banyak dipergunakan dokter gigi.

Menurut definisi, amalgam adalah campuran dari dua atau beberapa logam, salah satunya adalah merkuri. Seperti nanti bisa dilihat, alloy amalgam terdiri atas tiga atau beberapa logam. Amalgam itu sendiri merupakan kombinasi alloy dengan merkuri melalui suatu proses yang disebut amalgamasi atau triturasi. Campuran yang merupakan bahan plastis dimasukkan ke dalam kavitas dan bahan tersebut menjadi keras karena kristalisasi.

Dalam hal ini dikatakan bahwa restorasi amalgam “sering lebih baik daripada kelihatannya.” Kekurangan yang nyata sering tampak pada restorasi yang sudah berfungsi cukup lama, terutama memburuknya bagian tepi, yang disebut “ditching” pada interfase dengan gigi. Kita mungkin membayangkan bahwa karies selalu terdapat pada bagian tepi yang terbuka disebabkan oleh penetrasi dari cairan ludah, debris, dan mikroorganisme. Sebenarnya hal ini tidak selalu terjadi, walaupun restorasi kehilangan estetiknya dan terjadi degradasi terus-menerus. Penjelasannya terletak pada sifat amalgam yang unik. Sewaktu restorasi makin tua, produk-produk korosi terbentuk sepanjang batas antara restorasi dan gigi. Produk ini akan bertindak sebagai pemblokir mekanik dari penetrasi agen-agen beracun. Mekanisme swa-penyembuhan ini menyebabkan bahan restorasi amalgam tahan lama.

Spesifikasi dari The American Dental Association untuk alloy amalgam gigi telah banyak mengurangi jumlah produk komersial yang buruk. Walaupun beberapa tipe tertentu (misalnya, system amalgam dengan kandungan tembaga yang tinggi, yang akan dibahas kemudian) adalah unggul, presentase kegagalan yang tinggi disebabkan karena desain preparasi yang tidak tepat, kesalahan manipulasi dari amalgam dan amalgam yang terkontaminasi waktu pengisian setiap langkah dalam prosedur, dari waktu alloy diseleksi sampai restorasi dipoles, mempunyai efek terhadap sifat amalgam, yang menentukan keberhasilan atau kegagalan restorasi.

Pengertian Biokompatibilitas
Biokompatibilitas dapat diartikan sebagai kehidupan harmonis antara bahan dan lingkungan yang tidak mempunyai pengaruh toksik atau jejas terhadap fungsi biologi. Biokompatibilitas berhubungan dengan uji biologis yang merupakan interaksi antara sifat fisika atau mekanik melalui degenerasi sel, kematian sel dan beberapa tipe nekrosis. Tujuan biokompatibilitas adalah untuk mengeliminasi komponen bahan yang berpotensi merusakan jaringan rongga mulut.

Sebuah bahan dikatakan biokompatible ketika bahan tersebut tidak merusak lingkungan biologis di sekitarnya. Syarat biokompatibilitas bahan kedokteran gigi adalah:
1. Tidak membahayakan pulpa dan jaringan lunak.
2. Tidak mengandung bahan toksik yang dapat berdifusi, terlepas dan diabsorbsi dalam sistem sirkulasi.
3. Bebas dari agent yang dapat menyebabkan reaksi alergi.
4. Tidak berpotensi sebagai bahan karsinogenik.

Biokompatibilitas Amalgam
Amalgam merupakan bahan yang paling sering digunakan karena bahan ini dapat bertahan lama sebagai bahan tumpatan, mudah memanipulasinya, mudah beradaptasi dengan cairan mulut dan harganya relatif murah. Namun, mengenai masalah efek samping yang ditimbulkan oleh bahan ini masih dipertanyakan karena masih ada anggapan bahwa amalgam berbahaya bagi kesehatan tubuh pasien, hal ini karena di dalam amalgam terkandung merkuri. Merkuri dalam keadaan bebas sangat berbahaya bagi kesehatan karena dapat meracuni tubuh oleh karena itu merkuri di dalam amalgam dianggap berbahaya. Bahaya merkuri ini tidak hanya mengancam kesehatan pasien tetapi juga dokter gigi itu sendiri, uap merkuri yang terhirup pada saat mengaduk amalgam dapat menimbulkan efek toksik kumulatif pada dokter gigi tersebut.

Merkuri yang terkandung dalam amalgam memamg dapat melakukan penetrasi ke dalam struktur gigi. Merkuri yang telah msuk ke dalam dentin dapat menyebabkan terjadinya diskolorisasi pada gigi, tidak hanya itu saja merkuri juga dapat berpenetrasi sampai pada pulpa gigi sehingga malah terjadi inflamasi pada gigi tersebut. Selain itu, tumpatan amalgam juga melepaskan sebagian kecil merkuri pada saat penguyahan makanan sehingga sebagian merkuri masuk dalam tubuh, hal ini juga semakin menambah keraguan atas tingkat biokompatibilitas dari amalgam itu sendiri.

Keraguan atas tingkat biokompatibilitas amalgam terhadap kesehatan tubuh seharusnya tidak perlu terjadi karena sebetulnya mengenai kemungkinan reaksi toksik pada pasien akidat penetrasi merkuri pada gigi serta alergi yang ditimbulkannya belum begitu jelas. Kontak pasien dengan uap merkuri selama pengisian tumpatan amalgam begitu singkat dan jumlah uap merkuri begitu kecil untuk dapat membahayakan tubuh. Bahaya pemakaian amalgam telah banyak dipelajari, perkiraan yang paling bisa diandalkan adalah bahwa merkuri dari tumpatan amalgam tidak cukup signifikan untuk dapat meracuni pasien.

VIBRIO PARAHAEMOLYTICUS ENTERITIS (MUNTABER)

Muntaber atau Vibrio Parahaemolyticus Enteritis adalah keadaan di mana seseorang menderita muntah-muntah disertai buang air besar berkali-kali. Kejadian itu dapat berulang tiga sampai lebih sepuluh kali dalam sehari. Terjadi perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, melembek sampai mencair, yang kadang juga mengandung darah atau lendir. Lazimnya, penyakit muntaber memang menyerang anak-anak, terutama pada usia dua hingga delapan tahun. Mereka mudah tertular karena daya tahan tubuhnya belum sekuat orang dewasa.

Penyebab utama muntaber adalah peradangan usus oleh bakteri, virus, parasit lain (jamur, cacing, protozoa), keracunan makanan atau minuman yang disebabkan oleh bakteri maupun bahan kimia serta kurang gizi, misalnya kelaparan atau kekurangan protein. Penyakit yang dapat disebabkan oleh bakteri Escherichia coli ini dapat mewabah akibat lingkungan sekitar tempat tinggal yang kurang bersih serta makanan yang dikonsumsi terkontaminasi bakteri. Sistem sanitasi yang tidak terjaga dengan baik juga memudahkan kuman untuk berkembang biak. Hujan yang terus menerus sehingga menimbulkan banjir dan lingkungan yang kotor, sangat potensial menimbulkan wabah muntaber.

Selain itu, muntaber juga dapat disebabkan oleh virus Vibrio parahaemolyticus yang termasuk jenis vibrio halofilik dan telah diidentifikasi ada 12 grup antigen “O” dan sekitar 60 tipe antigen “K” yang berbeda. Strain patogen pada umumnya (tetapi tidak selalu) dapat menimbulkan reaksi hemolitik yang khas (fenomena Kanagawa). Masa inkubasi Vibrio parahaemolyticus biasanya antara 12 – 24 jam, tetapi dapat berkisar antara 4 – 30 jam.

Banyak diantara penderita muntaber yang melakukan terapi-terapi dalam mengatasi penyakit yang dialaminya. Baik sendiri maupun dengan ditangani dokter. Beberapa metode dalam penatalaksanaan muntaber pada penderita ialah dengan terapi pencegahan dan terapi pengobatan. Terapi pencegahan dilakukan dengan perbaikan kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat terhadap lingkungan tempat tinggalnya sebelum terjadinya penyakit muntaber tersebut. Sedangkan terapi pengobatan berupa terapi yang diberikan pada penderita muntaber yang sudah terjangkit penyakit muntaber agar penyakit tersebut dapat diatasi dan tidak terjadi sakit yang lebih parah.

Rabu, 11 Februari 2009

PERAWATAN ULANG ENDODONTIK NON BEDAH

Definisi dari perawatan ulang endodontik non bedah adalah perawatan ulang endodontik yang dilakukan setelah perawatan endodontik mengalami kegagalan. Kegagalan yang dimaksud di antaranya adalah masuknya mikroorganisme lewat kebocoran (leakage) pada restorasi bagian mahkota gigi dan mikroorganisme yang masih ada dalam saluran akar karena kurang bersihnya tindakan debridement saluran akar pada perawatan awal endodontik. Tindakan debridement yang kurang tuntas ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor operator dan faktor anatomi saluran akar. Faktor operator maksudnya adalah kurang cermatnya operator dalam proses preparasi saluran akar, sehingga masih meninggalkan kotoran / mikroorganisme. Tetapi yang lebih sering terjadi adalah karena faktor anatomi saluran akar sendiri yang kurang menguntungkan. Saluran akar yang bengkok, sempit, mengeras akan menyulitkan instrument endodontik untuk dapat melakukan pembersihan saluran akar dengan tuntas.

Komplikasi Perawatan Ulang Endodontik
1. Saluran akar yang salah
Pada beberapa kasus saluran akar sulit untuk ditentukan oleh karena restorasi yang masih terpasang. Perawatan saluran akar sebelumnya yang preparasi, pembersihan, dan obturasi yang tidak bagus juga dapat menyebabkan sulitnya mendeteksi saluran akar. Penggunaan foto radiografis dapat membantu mengatasi masalah ini.
2. Saluran akar yang buntu
Saluran akar yang buntu akan mempersulit dalam perawatan ulang endodontik
3. Terjadinya ledge
Dapat terjadi bila preparasi pada perawatan endodontik sebelumnya tidak bagus dan menyebabkan pembersihan saluran akar pada perawatan ulang endodontik membuat ledge yang lebih parah.
4. Terjadinya perforasi
Pada saat pembersihan dan pembentukan saluran akar dapat terjadi perforasi. Hal ini dapat disebabkan bila dinding saluran akar yang sudah rapuh atau tipis.
5. Instrumen patah
Dalam pelaksanaan perawatan ulang endodontik dapat terjadi patahnya instrumen, terutama pada saat pengeluaran bahan pengisi saluran akar.

Sumber :
Nonsurgical Endodontic Retreatment. Clifford J. Ruddle, DDS. CDA Journal Vol.32, No. 6, June 2004. pp.474-484.

Kemungkinan prognosa dari perawatan ulang endodontik
1. Kista
Pada kasus dimana terdapat kista, kemungkinan kambuh sangat besar walaupun telah dilakukan perawatan ulang konvensional yang sangat baik. Dalam hal ini diperlukan perawatan endodontik bedah.
2. Bahan asing di ekstra-radikuler
Reaksi tubuh terhadap benda asing misalnya gutta-percha yang keluar dan masuk pada jaringan periapikal. Hal ini mempersulit untuk terjadinya perawatan ulang yang sempurna karena diperlukan teknik untuk membersihkan benda asing yang sudah terlanjur masuk pada jaringan periapikal.
3. Fraktur akar vertikal
Pada kasus dimana terdapat fraktur akar vertikal yang tidak terdiagnosa, maka dapat menyebabkan buruknya prognosa dari perawatan ulang endodontik.
4. Perforasi akar
Pada kasus perforasi akar maka perawatan ulang endodontik non-bedah kurang baik karena adanya faktor kesulitan dalam menentukan lokasi perforasi.

Sumber:
Why is Retreatment Less Successful than Conventional Root Canal Treatment?
Padhraig Fleming.TSMJ Volume 3: Review Articles. Pp.31-35.

KISTA RADIKULER

Kista radikuler juga dikenal dengan nama kista periapikal atau kista apical periodontal yang merupakan kista yang paling sering ditemukan. Terbentuk dari iritasi kronis gigi yang sudah tidak vital. Kista tumbuh dari epitel rest of Malassez yang mengalami proliferasi oleh karena respon terhadap proses radang yang terpicu oleh karena infeksi bakteri pada pulpa yang nekrosis.

Secara histopatologis kista ini ditandai dengan adanya suatu rongga yang berlapiskan epitel yang tidak mengalami keratiisasi skuamosa dan mempunyai ketebalan yang bervariasi. Secara khas dapat dilihat adanya proses radang dengan ditemukannya banyak sel neutrofil pada dinding kista tersebut. Pada dinding kista sering didapatkan kerusakan karena proses radang.

Dinding rongga kista radikuler atau periapikal merupakan lapisan epitel jenis Non-keretinizing stratified squamous dengan ketebalan yang bervariasi. Dinding epithelium tersebut dapat sangat proliferatif dan memperlihatkan susunan plexiform. Sel-sel mucus juga ditemukan dilokasi ini, meskipun jarang. Sebagai jenis kista yang terjadi karena proses radang, maka dinding epithelium dapat mengandung banyak sel radang, yaitu sel plasma dan limphosit. Rousel body atau Round eusinofilic globulae banyak ditemukan di dalam atau luar sel plasma sehingga terjadi peningkatan sintesis immunoglobulin. Keberadan immunoglobulin ini dapat diyakinkan dengan pemeriksaan pewarnaan menggunakan imunofluoresens.

Kista radikuler memiliki gambaran radiologist berupa lesi bulat berbatas jelas di regio apical gigi. Gambaran radiolusen melekat pada bagian apical gigi.

Pemeriksaan kista radikuler dapat dilakukan dengan cara biopsy yang meliputi:
1. Aspirasi jarum halus (FNAB) à jarum diameter < 1mm, ujung jarum ditusukkan ± 5x, kemudian dibuat hapusan (smear) à one layer smear
2. Eksisi à digunakan untuk pengambilan lesi kecil yang secara klinis merupakan lesi yang jinak (Æ < 1cm), baik lesi superfisial maupun lesi profundus, lunak atau keras. Pendekatan yang dilakukan bisa dengan insisi berbentuk elips (untuk lesi permukaan (atau modifikasinya, apabila lesi terletak di dalam jaringan lunak.
3. Insisi à pemeriksaan ini bila lesi ini berukuran besar atau potensial ganas (nantinya memerlukan eksisi yang luas) atau untuk menghindari strukstur penting di sekitarnya, misalnya arteri atau saraf. Biopsy insisional biasanya dipilih untuk lesi yang besar dan terletak di dalam tulang, baik lesi kistik maupun solid, untuk menentukan sifatnya, sehingga dapat digunakan untuk merencanakan tindakan rehabilitatif.
4. Aspirasi à suatu pendekatan untuk fluktuan di dalam lesi jaringan lunak baik superficial atau profunda. Lesi sentral pada tulang diaspirasi dahulu sebelum diambil, karena dikhawatirkan akan terjadi perdarahan yang disebabkan oleh adanya hemangioma sentral atau anomaly vaskuler. Aspirasi kurang bermanfaat untuk diagnosi lesi yang solid.

Perawatan kista radikuler adalah dengan cara enukleasi melalui alveolus pada saat ekstraksi. Bila ukurannya bertambah besar (2-3cm) dan melibatkan gigi & struktur di sekitarnya, maka penatalaksanaannya menjadi kompleks à memerlukan tindakan kontrol infeksi, marsupialisasi dengan biopsi dan penyembuhannya lama.

PENYEMBUHAN LUKA

Definisi luka adalah terputusnya struktur anatomis dan fungsi dari bagian manapun dari tubuh. Penyembuhan merupakan proses restorasi struktur dan fungsi anatomis. Sebagai gambaran penyembuhan normal, luka pada kulit akan tertutup secara spontan dalam beberapa hari dalam upaya tubuh melindungi struktur dibawahnya.

Penyembuhan dalam tahap akut, merupakan proses restorasi dalam upaya mempertahankan periode dan struktur anatomi dan fungsinya. Sebagai contoh pada luka baru yang menutup dalam beberapa hari. Sedangkan luka yang tidak dapat menutup dalam beberapa hari dikategorikan sebagai luka kronis dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan. Luka pada jari yang selalu digerakkan akan memberikan gambaran luka kronis ini (Carson, 2005).

Penutupan luka primer, sekunder dan tersier.
Menurut ciri-ciri dan waktu penyembuhan luka, terbagi menjadi penyembuhan primer adalah penyembuhan yang terjadi pada luka tanpa ada organisme patogen, reaksi peradangan minimal dan ringan, luka bersih, trauma minimal dan jaringan pada posisi asal. Sedangkan penyembuhan luka sekunder adalah penyembuhan luka yang terjadi pada luka dengan trauma yang luas dan parah, adanya bakteri patogen, luka dengan jaringan, sehingga penyembuhan lambat. (Clark,1959)

Penutupan primer terjadi bila kehilangan jaringan minimal pada susunan anatomi disekitar tepi luka sehingga segera memberikan jalan untuk penyembuhan luka tanpa menimbulkan bekas luka. Pada metode ini terjadi sedikit reepitelisasi, minimal kolagen, kontraksi dan remodeling, penyembuhan terjadi dengan cepat, resiko infeksinya rendah dan tidak terjadi bekas luka. Contohnya antara lain adalah laserasi atau insisi dengan penyembuhan yang baik, redaksi fraktur tulang yang baik, reanastomosis saraf secara anatomi.


Penutupan sekunder terjadi bila luka yang terjadi meninggalkan celah cukup luas diantara tepi luka bekas insisi atau laserasi, pada tulang atau ujung saraf sesudah perbaikan jaringan. Terjadi kehilangan jaringan disekitar luka sehingga dapat menghambat penutupan tepi luka. Pada keadaan ini terdapat sejumlah besar epitel dan kolagen serta terjadi remodeling selama perbaikan jaringan. Penyembuhan berjalan lambat dan terdapat bekas luka bila dibandingkan dengan keadaan pada penyembuhan luka primer.

Penutupan tersier adalah penyembuhan yang terjadi pada luka dengan penutupan primer yang tertunda (delayed primary closure) dilakukan pada luka yang terkontaminasi. Luka dibiarkan terbuka selama 3 – 5 hari untuk penanganan kontaminasi dan infeksi. Bila tepi luka telah sehat dilakukan penutupan dengan penjahitan maupun dengan graft. (Carson, 2005).



Sumber:
Muharram, Aries. 2007. Penyembuhan Luka. Universitas Airlangga, Surabaya

PENCABUTAN GIGI PADA PENDERITA HIPERTENSI

Penderita Hipertensi yang masuk dalam stage I dan stage II masih memungkinkan untuk dilakukan tindakan pencabutan gigi karena resiko perdarahan yang terjadi pasca pencabutan relatif masih dapat terkontrol (Little, 1997). Pada penderita hipertensi dengan stage II sebaiknya di rujuk terlebih dahulu ke bagian penyakit dalam agar pasien dapat dipersiapkan sebelum tindakan.

Pengobatan pada pasien hipertensi biasanya digunakan lebih dari satu macam golongan obat, misalnya: golongan obat anti hipertensi (mis: captopril) dan golongan obat diuretik.
Resiko-resiko yang dapat terjadi pada pencabutan gigi penderita hipertensi, antara lain :

1. Resiko akibat Anestesi lokal pada penderita hipertensi
Larutan anestesi lokal yang sering dipakai untuk pencabutan gigi adalah lidokain yang dicampur dengan adrenalin dengan dosis 1:80.000 dalam setiap cc larutan. Konsentrasi adrenalin tersebut dapat dikatakan relatif rendah, bila dibandingkan dengan jumlah adrenalin endogen yang dihasilkan oleh tubuh saat terjadi stres atau timbul rasa nyeri akibat tindakan invasif. Tetapi bila terjadi injeksi intravaskular maka akan menimbulkan efek yang berbahaya karena dosis adrenalin tersebut menjadi relatif tinggi. Masuknya adrenalin ke dalam pembuluh darah bisa menimbulkan: takikardi, stroke volume meningkat, sehingga tekanan darah menjadi tinggi. Resiko yang lain adalah terjadinya ischemia otot jantung yang menyebabkan angina pectoris, bila berat bisa berakibat fatal yaitu infark myocardium. Adrenalin masih dapat digunakan pada penderita dengan hipertensi asal kandungannya tidak lebih atau sama dengan 1:200.000. Dapat juga digunakan obat anestesi lokal yang lain, yaitu Mepivacaine 3% karena dengan konsentrasi tersebut mepivacaine mempunyai efek vasokonstriksi ringan, sehingga tidak perlu diberikan campuran vasokonstriktor.

2. Resiko akibat ekstraksi gigi pada penderita hipertensi
Komplikasi akibat pencabutan gigi adalah terjadinya perdarahan yang sulit dihentikan. Perdarahan bisa terjadi dalam bentuk perdarahan hebat yang sulit berhenti saat dilakukannya tindakan pencabutan gigi, atau bisa berupa oozing (rembesan darah) yang membandel setelah tindakan pencabutan gigi selesai.

Sumber:
Little, JW. 1997. Dental Management of the Medically Compromised Patient. 5th edition. Mosby. St.Louis

PERBEDAAN AKTIVITAS OTOT-OTOT PENGUNYAHAN PADA ORANG NORMAL DIBANDINGKAN ORANG DENGAN GANGGUAN SENDI TEMPOROMANDIBULAR

Mekanisme otot-otot pengunyahan pada orang normal dengan orang yang mengalami kelainan pada sendi temporomandibularnya sangat berbeda. Hal ini telah dibuktikan oleh Japan Society for the Promotion of Science yang melakukan penelitian pada sebelas orang dewasa dengan gangguan internal pada sendi temporomandibular yang digunakan sebagai kelompok pasien, dan sebelas orang dewasa dengan oklusi normal tanpa kelainan sendi temporomandibular yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Dalam penelitian tersebut, tiap orang coba diminta untuk mengunyah permen karet yang keras. Tercatat bahwa pergerakan insisif sentral rahang bawah pada frekuensi 89,4 Hz, sedang aktifitas otot temporalis bagian anterior, otot masseter, otot digastrikus dan otot pterygoideus lateralis inferior menunjuk pada frekuensi 2,56kHz, menggunakan metode enam derajat kebebasan gerakan rahang bawah. Setiap orang coba melakukan gerakan membuka dan menutup mulut maksimum lima kali, dengan tujuan untuk melihat aktifitas normal otot. Selain itu, daya kunyah pada daerah oklusal gigi dan derajat kontak oklusi juga diukur. Selama proses pengunyahan pada kelompok pasien, otot yang bekerja dengan normal adalah sisi non-working otot temporalis, sedangkan sisi kerja otot masseter dan sisi kerja otot pterygoideus lateral menunjukkan nilai yang sangat rendah dibanding kelompok kontrol (P<0.05). Pada kelompok pasien tidak ada perbedaan yang mencolok pada perhitungan kontak area diantara mereka. Tetapi perhitungan kekuatan daya kunyah maksimum pada kelompok pasienmenunjukkan nilai yang juga sangat rendah dibanding kelompok kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aktifitas normal dari sisi kerja otot masseter, sisi non-working otot temporalis dan otot pterygoideus lateral pada pasien dengan gangguan pada sendi temporomandibular lebih rendah dibandingkan pasien normal selama pengunyahan.